SELAMAT DATANG, SUGENG RAWUH, WILUJENG SUMPING, WELCOME

Blog ini dibuat dengan berdasar keingintahuan dan minat terhadap perkembangan IT. Bila masih banyak kekurangannya mohon dimaafkan dan bila berkenan dapat memberikan masukan guna perbaikan kedepannya. Bimbingan dari sesama blogger sangat saya nantikan... trims.

Selasa, 29 Agustus 2017

Patah Tulang Tidak Harus Diatasi dengan Pasang Pen

Jakarta, Angka kejadian patah tulang di Indonesia meningkat dari waktu ke waktu. Patah tulang dapat terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan rumah tangga, kecelakaan kerja, kecelakaan olahraga, proses penuaan (degeneratif), dan suatu penyakit. Namun penanganan kasus ini tidak harus dengan memasang pen.

Patah tulang yang terjadi pada tulang panjang (lengan dan tungkai), pada umumnya sangat mudah dikenali. Terdapat 3 'tanda pasti' patah tulang yakni perubahan bentuk (deformitas), yaitu pemendekan, angulasi, dan rotasi; terabanya gesekan antar tulang (krepitasi); adanya gerakan tulang di tempat yang tidak semestinya dan di luar sendi (false movement)

Meskipun patah tulang yang terjadi pada tulang panjang dapat dikenali dengan mudah, pemeriksaan penunjang awal berupa Rontgen (X-Ray) tetap diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk melihat komposisi patahan tulang sebagai dasar perencanaan tindakan selanjutnya.

Pemeriksaan rontgen juga sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis patah tulang non-tulang panjang, yaitu tulang kepala dan wajah, tulang belakang, tulang dada, tulang panggul dan tulang pendek (telapak tangan dan jari-jemari)

Pemeriksaan penunjang lain yang sering dilakukan pada kasus patah tulang adalah Computed Tomography (CT) Scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT Scan diperlukan untuk memperjelas komposisi patah tulang yang melalui sendi (intra-artikuler). Sedangkan MRI, diperlukan untuk melihat efek patah tulang terhadap jaringan lunak (soft tissue) di sekitarnya, yaitu: syaraf, pembuluh darah, ligament, meniscus, otot, tendon, dan organ-organ dalam tubuh.

Tujuan penanganan patah tulang adalah bukan hanya sekadar menyambung kembali tulang yang patah. Lebih dari itu adalah mengembalikan posisi tulang secara anatomis sehingga tidak menimbulkan komplikasi lanjut dan dapat berfungsi kembali dengan baik.

Setelah tulang dikembalikan ke posisi anatomisnya (reposisi), maka diperlukan alat untuk membantu mempertahankan posisi ini (immobilisasi) selama masa penyembuhan tulang. Pada prinsipnya, alat tersebut harus menjamin bahwa patah tulang yang telah direposisi, terfiksasi dengan stabil dan adekuat. Alat tersebut dapat berupa: pen luar (eksternal fiksasi), pen dalam (internal fiksasi), sekrup, pin, gips, dan brace.

Pertimbangan dokter spesialis orthopaedi dalam menentukan jenis tindakan yang dilakukan pada penanganan patah tulang, adalah usia, pekerjaan/profesi, aktivitas, keadaan umum pasien, jenis patah tulang (terbuka/tertututup), tipe patah tulang (sederhana/ kompleks), lokasi patah tulang (intra-artikuler/ ekstra-artikuler), derajat kerusakan jaringan sekitar, serta lama kejadian dengan penanganan patah tulang.

 http://health.detik.com/read/2013/05/05/122248/2238256/763/indeksfokus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar